Berikut ini kami share artikel
dari www.senyumanak.com yang
cukup inspiratif, sebuah penuturan yang tampaknya diambil dari kisah nyata
seseorang yang akhirnya menjadikan kegiatan mendidik anak sebagai salah satu
fokus hidupnya. Maka, diberilah judul yang cukup renyah, "Kecanduan
Mendidik Anak". Berikut ini tulisan lengkapnya:
Kecanduan Mendidik Anak
Aku punya seorang teman
yang ahli komputer. Spesialisasinya adalah linux, BSD, dan semacam itu.
Dia menggeluti hal tersebut sejak SMA. Sehingga ketika kuliah, dia sudah
terbiasa berurusan dengan CLI (Command Line Interface), serta melakukan
hacking pada komputer dan situs orang lain. Ketika ditanya apa rahasianya,
temanku menjawab, "Jangan maen game komputer!"
Aku yang saat itu
berstatus sebagai pecandu game komputer, tak terima dengan pernyataannya.
Menurutku, bermain game komputer itu sebuah hal yang mengasyikkan dan memberi
manfaat yang sangat banyak. Dengan bermain game strategi, kemampuanku untuk
membuat perencanaan dan evaluasi akan lebih terlatih. Dengan bermain game arcade,
kemampuan refleksku akan lebih cepat dan terkendali. Dengan bermain game
online, kemampuan sosialisasiku bisa lebih terasah. Prinsip dan pembenaran ini
kupegang puluhan tahun hingga aku menikah dan memiliki seorang anak.
Suatu ketika, aku mulai
kecanduan salah satu game online. Game bergenre RPG ini gratis dan bebas
dimainkan setiap saat. Game online ini merupakan perpaduan game arcade,
strategi, dan game kerjasama sehingga mengharuskanku berinteraksi dengan pemain
lainnya. Game yang sangat sempurna menyita waktu dan fokus perhatianku.
Banyak tugas dan
pekerjaan yang terabaikan akibat bermain game ini. Bahkan ada satu proyek besar
yang gagal kutuntaskan sehingga aku di black list oleh orang yang memberi
proyek tersebut. Tapi aku tetap bergeming. Aku tetap hidup dalam 2 dunia, dunia
nyata, dan dunia game online yang kumainkan.
Hingga suatu malam,
ketika aku begadang, terlarut dalam dunia game, anakku Farid terjatuh dari
tempat tidur. Aku yang sedang asyik tak menyadari bahwa Farid tidur sambil
guling kanan kiri, sehingga membuatnya semakin mendekati pinggir tempat tidur.
Aku yang sedang berada dalam dunia keduaku itu baru tersadar ketika mendengar
bunyi BUKKK yang sangat keras. Bunyi itu disusul dengan tangisan anakku yang
jatuh dari ketinggian kurang lebih 50 cm.
Aku seperti ditampar ditonjok.
Aku langsung bangkit menghampiri anakku, memeluk, kemudian menggendongnya.
Tangisku pecah mengiringi tangis anakku. Bahkan ketika anakku berhenti
menangis, aku tetap tak dapat menahan aliran air mata ini. Aku merasa bersalah.
Yap, aku sangat bersalah.
Syukurlah, anakku
baik-baik saja. Dia bahkan kembali tertidur tenang setelah tangisnya berhenti.
Tertidur dalam pelukanku. Yang terluka saat itu justru aku. Tangisan dan omelan
istriku seakan menghantuiku. Bahkan sampai berbulan-bulan kemudian, jika aku
mendengar suara BUKKK, spontan aku menengok kanan kiri mencari anakku. Teringat
lagi kejadian itu.
Malam itu juga aku
menghapus seluruh game di komputerku. Aku tak mau terlarut lagi dalam dunia
palsu. Aku ingin membuktikan bahwa aku menyayangi anakku. Tak sekedar kata dan
rasa, sayang ini harus kubuktikan dalam pemikiran dan perbuatan.
Sejak saat itu aku
menjadikan pendidikan anakku sebagai fokus hidupku. Aku mendedikasikan seluruh
waktuku untuk menjadikan Farid seorang anak sholeh yang hebat, sehat, kuat. Aku
berusaha mewujudkan cita-citaku, menjadikan anakku Farid seorang penghafal dan
pengamal 30 juzz Al Qur'an. Sehingga jika ku menghadap Yang Kuasa, aku dapat
mempertanggungjawabkan amanahku sebagai orang tua.
NB:
Ternyata bukan hanya
bermain game komputer saja yang mampu merusak konsentrasiku. Menonton TV,
Facebook-an, Twitter-an, dan browsing-browsing gak jelas juga mampu mengganggu
konsentrasiku dalam mendidik anak.
bkn hny melalaikan anak pak, tapi juga istri dan ibadah- ibadah lainnya, jd menutup peluang beramal
BalasHapus